kerudung dusta
Percaya atau tidak, tulisan ini emang terinspirasi dari obrolan
anak-anak cewek waktu saya bantuin tim distribusi nyebarin gaulislam ke
sekolah-sekolah. Di sebuah sekolah di kota Bogor, di Jl. Dr. Sumeru
tepatnya, saya sempat merekam obrolan beberapa anak perempuan. Di antara
mereka ada yang pake kerudung ada pula yang masih membiarkan
rambutnya—yang merupakan bagian dari aurat—dilihat banyak orang. Nah,
yang menarik adalah ketika ada seorang anak cewek yang manggil-manggil
temannya dengan sebutan “kerudung palsu”. Entah apa maksudnya karena
saya nggak konfirmasi ke anak cewek tersebut. Maklum, saya terburu-buru
mau nyebarin gaulislam edisi cetak ini ke sekolah lainnya.
Jujur
saya tergelitik dengan istilah yang dilontarkan anak cewek itu:
kerudung palsu. Mungkin nih, tebakan saya adalah ada dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, dia sedang mengejek temannya yang pake kerudung
karena sang teman perilakunya tidak mencerminkan layaknya perempuan yang
menjaga kehormatannya melalui busana muslimah itu. Kemungkinan kedua,
bisa juga cuma guyonan. Tetapi terlepas dari apa motif anak cewek itu
melontarkan istilah “kerudung palsu”, akhirnya menjadi inspirasi bagi
saya untuk menulis artikel di gaulislam dengan judul yang sedikit
provokatif, yakni “kerudung dusta”. Insya Allah edisi cetaknya ini juga
akan disebarkan ke sekolah tersebut. Dan, siapa tahu anak cewek yang
komentar dan yang dikomentarin tersebut baca juga. Seru deh!
Bro
en Sis, semoga saja artikel ini bisa menginspirasi kamu semua untuk
mulai peduli hubungan antara busana dan perilaku pemakainya. Selain itu
kita semua berharap bahwa sebagai muslim, pilihan kita dalam berbusana
pun harus disesuaikan dengan ajaran agama kita. Nggak boleh sesuka
kita. Tetapi memang ngikutin aturan yang berlaku. Sebab, untuk hal-hal
mubah dalam kehidupan sehari-hari aja manusia bisa bikin aturan dan
minta ditaati. Maka, Allah Swt, tentu saja lebih berhak untuk ditaati
aturanNya. Iya kan?
Istilah “kerudung palsu” dan juga “kerudung
dusta” muncul dengan suatu motif. Pasti banget bahwa setiap orang
melakukan sesuatu atau berpendapat tentang sesuatu sesuai motifnya.
Kita akan tahu apa yang dimaksudkannya setelah mengetahui motifnya
berperilaku atau berpendapat. Itu sebabnya, penting bagi kita untuk
mengetahui tujuan dan niatnya sera fakta di lapangan yang berkaitan
dengan masalah tersebut.
Busana mengkomunikasikan pesan
Manusia,
selain berkomunikasi secara tulisan dan lisan, juga menggunakan
lambang dan simbol untuk melakukan komunikasi. Rambu-rambu lalu lintas
contohnya. Kita bisa tahu maksudnya huruf P yang disilang, yakni
kendaraan tidak boleh parkir di tempat yang dipasangi rambu tersebut.
Maka jika kita markirin kendaraan di situ, udah pasti melanggar aturan.
Tapi jangan juga ngeles kayak anekdot yang pernah saya baca. Tukang
becak yang ngeyel dengan tetap ngetem di tempat yang sudah dipasangi
rambu lalu lintas bergambar becak yang disilang, yang artinya becak
nggak boleh ada di tempat itu. Tetapi ada tukang becak yang ngeles
dengan mengatakan bahwa yang nggak boleh di situ kan gambar becak bukan
becaknya. Hehehe… ini sih ngakalin memang. Maka, dalam lanjutan
anekdot itu dikisahkan polisi yang negor tukang becak tersebut marah
dengan mengatakan: “apakah kamu nggak sekolah, masa’ lambang gini nggak
ngerti?” Eh, tukang becaknya nggak kalah berargumen: “Wah Pak, kalo
saya sekolah dan pinter, mungkin sudah seperti Bapak!” Gubrak!
Nah,
ngomong-ngomong soal kerudung (termasuk jilbab), ternyata busana juga
bisa mengirimkan pesan lho. Sebab, busana, menurut Kefgen dan
Touchie-Specht, mempunyai fungsi: diferensiasi, perilaku, dan emosi.
Dengan busana, membedakan diri (dan kelompoknya) dari orang, kelompok,
atau golongan lain. Dalam hal ini, kamu suka nemuin kan ada orang yang
suka tampil beda dengan busana atau aksesoris lainnya. Sekelompok remaja
puteri ada yang berani untuk mengenakan busana yang tak menutupi
auratnya kalo keluar rumah. Sebagian yang lain merasa besar kepala bila
keluar rumah pamer rambut indahnya, berhias berlebihan dan nyemprotin
parfum ampe super wangi.
Perbedaan yang hendak dikomunikasikan
melalui busana ini, tentunya agar orang tahu siapa dirinya. Agar semua
orang bisa menilai dirinya tanpa perlu kita bicara secara lisan atau
menyampaikan melalui tulisan. Busana, adalah bagian dari komunikasi
melalui simbol.
Terus, busana juga bisa mengendalikan perilaku,
lho. Kalo ada pak polisi mengenakan seragam polisi, maka biasanya
beliau-beliau jaim alias jaga imej deh. Begitupun dengan remaja puteri,
saat kamu memakai kerudung, maka perilaku kamu nggak bakalan “se-okem”
ketika kamu berjins-ria. Ini fakta umum. Apalagi bagi yang udah
sempurna berjilbab, nggak bakalan berani berperilaku yang norak, okem,
senewen, atau malah urakan dan maksiat. Kecuali emang belum ngerti atau
memang sengaja untuk kamuflase di tahap awal agar orang memandang dia
baik perilakunya.
Hehehe.. ini juga fakta lho. Beberapa
facebooker, menurut seorang kawan, ternyata PP alias foto profilnya
mengenakan kerudung tetapi pada foto di ‘dalemannya’ malah ada
penampilannya yang sedang membuka aurat. Nah, cerita teman saya itu,
dia heran karena itu adalah temannya di jaman SMA, maka doi surprise
dan menganggap sang teman sudah berubah. Eh, ternyata eh ternyata itu
cuma di tampilan foto profilnya. Selebihnya, sang teman masih
menampilkan fotonya dalam keadaan tak berkerudung. Waduh! Apakah ini
bisa disebut kerudung dusta? Mungkin juga.
Bro en Sis, busana
juga ternyata bisa berfungsi mengkomunikasikan emosi. Coba aja deh,
kalo kamu nonton bola dengan bersegaram klub kebanggaan kamu, “nilai”
teriak bin sorakknya lebih berharga (ciee.. emang gitu ya?). Kamu bisa
lihat di televisi, bagaimana para penonton merasa terlibat secara emosi
bila mengenakan kaos klub favoritnya.
So, buat para cewek wa akhwatuha,
jadikan citra jilbab dalam perspesi sosial umum sebagai kebaikan;
sopan, ramah, kalem, tahu agama, alim dan sebagainya. Jadi, seperti
kata Kefgen dan Touchie-Specht, bahwa busana adalah “menyampaikan
pesan”. Kamu menerima pesan di balik busana orang, kemudian merespon
sesuai persepsi sosial kamu. Jadi, mungkin akan wajar kalo teman kamu
akan bilang kerudung palsu atau kerudung dusta karena perilaku kamu
bertentangan dengan busanamu. Intinya, busanamu mencerminkan
perilakumu. Sebab, cara pandang seseorang akan mempengaruhi
perilakunya.
Busana muslimah itu indah
Islam,
sebagai agama yang sempurna memperhatikan pula tentang urusan pakaian.
Yang indah itu yang bagaimana, yang sesuai syariat itu yang bagaimana.
Semua dijelaskan oleh Islam. Bicara soal pakaian, Allah Swt, telah
mengatur dalam firmanNya (yang artinya): “Hai anak Adam,
sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi
auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.” (QS al-A’râf [7]: 26)
Nah, ngomong-ngomong syariat, busana muslimah tuh udah ada aturannya. Firman Allah Swt. (yang artinya): “Hai
Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha
pengampun lagi Maha penyayang.” (QS al-Ahzab [33]: 59)
Saya coba ngasih penjelasan sedikit. Moga-moga aja kamu pada paham ya? Jilbab bermakna milhâfah (baju kurung atau semacam abaya yang longgar dan tidak tipis), kain (kisâ’) apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian (tsawb) yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh. Di dalam kamus al-Muhîth dinyatakan
demikian: Jilbab itu laksana sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong),
yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita selain baju kurung
atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti
halnya baju kurung.
Nah, kalo kamu pengen tahu penjelasan tambahannya, ada juga keterangan dalam kamus ash-Shahhâh, al-Jawhârî menyatakan: Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhâfah) yang sering disebut mulâ’ah (baju kurung). Begitu sobat. Moga aja setelah ini nggak kebalik-balik lagi ketika membedakan antara jilbab dan kerudung.
Jadi pakaian muslimah itu? Nah, yang dimaksud pakaian muslimah, dan itu sesuai syariat Islam, adalah jilbab plus
kerudungnya. Dan itu wajib dikenakan ketika keluar rumah atau di dalam
rumah ketika ada orang asing (baca: bukan mahram) yang kebetulan
sedang bertamu ke rumah kita or keluarga kita.
Sobat muda muslim,
saya ‘cerewet’ begini bukan ngiri or nggak suka sama kamu. Tapi justru
sebagai bentuk kepedulian. Tentu karena sayang sama kamu. Supaya
ketika kamu berbuat patokannya adalah syariat Islam, bukan mode atawa
selera kamu semata. Ok?
Semoga melalui tulisan ini, istilah
kerudung palsu or kerudung dusta nggak melekat sama kamu. Sebab rugi
banget deh, kamu pake kerudung tapi kamu masih dijuluki gajah alias
gadis jahiliyah. Artinya, kerudung cuma nyangkut di kepala nutupin
rambut dioang, tetapi pikiran kamu masih belum dihiasi dengan indahnya
aturan Islam. Jika itu yang terjadi, pantas deh disebut kerudung dusta.

dari kecil kita belajar
sumber www.gaulisalm.com...
0 komentar:
Posting Komentar