Selasa, 17 Januari 2012

Mahkota Cinta


Mahkota Cinta
(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)

 
Satu

Mata pemuda itu memandang ke luar jendela. Lautan
terhampar di depan mata. Ombak seolah menari-nari
riang. Sinar matahari memantul-mantul keperakan. Dari
karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa feri yang ia
tumpangi bernama Lintas Samudera. Tujuan feri yang
bertolak dari pelabuhan Batam itu adalah pelabuhan Johor
Bahru.
Ia memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya.
Ia meyakinkan dirinya harus kuat. Ya, sebagai lelaki ia
harus kuat. Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa- siapa
lagi. Bagi seorang lelaki cukuplah keteguhan hati
menjadi teman dan penenteram jiwa.
la kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang
melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir.
Mengubah nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani
berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang
lebih baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan.
Singapura semakin dekat di depan, dan Batam semakin
jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak
menuju Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru,
Malaysia.
"Baru pertama ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan
muda yang duduk di sampingnya. Perempuan itu
memakai celana jin putih dan jaket ketat biru muda.
Rambutnya diikat kucir kuda. Ia menaksir usia
perempuan itu sekitar tiga puluhan lebih.
"Iya Mbak. Mbak juga yang pertama?" jawabnya
balik bertanya.
"Tidak. Saya sudah empat tahun di Malaysia."
"Berarti sejak tahun 2000 ya Mbak."
"Tidak. Sejak awal 2001."
"Kerja ya Mbak?"
"Iya Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"
Ia berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia
mau bekerja atau mau sekolah. Sesungguhnya selama
ini ia merantau dari satu daerah ke daerah lain, selain
untuk bertahan hidup juga demi mencari takdir yang
lebih baik.
"Kok malah bengong Dik."
"E... tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk dua
duanya. Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi."
"Baguslah. Sudah ada pandangan mau kerja di
mana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya."
"Belum sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak
kerja di mana?"
"Saya kerja di sebuah kilang di kawasan Subang
Jaya. Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya
banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan,
nama saya Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau Mari."
Perempuan muda itu mengulurkan tangan kanannya.
Pemuda itu juga mengulurkan tangannya dan
menjabat tangan perempuan muda itu.
"Terima kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh temanteman
saya selama ini saya biasa dipanggil Zul Einstein."
"Wah keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?"
"Ya tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan
Einstein oleh teman-teman saya karena mereka melihat
saya banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau tidak
terima ya tetap akan dipanggil begitu. Jadi, panggil saja
saya Zul Mbak."
"Ya baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata
perempuan muda itu sambil melepaskan jabatan
tangannya.
"Jadi Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?"
Perempuan muda itu malah tertawa kecil.
"Kamu memang masih asli Indonesia. Kilang itu
artinya pabrik. Di Indonesia disebut pabrik. Sedangkan
di Malaysia disebut kilang. Jadi bukan bermakna kilang minyak.
Saya kerja di kilang kertas di kawasan Subang
Jaya. Itu maknanya saya kerja di pabrik kertas."
"Obegituya."
"Rencananya nanti mau ke mana? Di Malaysia sudah
ada tempat yang dituju?"
"Tempat yang dituju secara pasti tidak ada. Saya
hanya membawa sebuah nama dan sebuah nomor telpon.
Saya ingin sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru setelah
itu saya akan telpon orang itu."
"Ya syukurlah. Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur.
Kalau mau kita bisa jalan bersama."
la diam saja. Tidak menjawab apa-apa.
Lintas Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat.
Dan juga tidak terlalu lambat.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam,
Lintas Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru.
Begitu pintu feri dibuka, para penumpang berebutan
keluar. Zul keluar dengan membawa tas cangklong hi tarn
dan tas jinjing besar biru tua. la mengiringi Mari yang
berjalan di depannya. Perempuan itu menenteng tas
cangklong putih dan koper kecil beroda warna hijau.
Mereka berjalan menuju gedung pelabuhan.
Petugas security pelabuhan sibuk memeriksa barang
bawaan para penumpang. Tas dan koper Mari
diperiksa. Setelah beberapa saat lamanya, Mari
dipersilakan langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul
juga diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa
makanan ringan, dan sebuah mushaf Al-Quran kecil
pemberian Pak Hasan kala ia berpamitan, sebelum
berangkat. Petugas security itu memerintahkannya
untuk terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi. Mari
sedang serius mengisi formulir kedatangan untuk
imigrasi.
"Harus diisi semua ya Mbak?" tanya Zul.
"Ya. Kecuali kolom yang khusus diisi petugas
imigrasi," jawab Mari sambil tetap menulis. Sesekali ia
mencocokkan apa yang ia tulis dengan paspornya.
"Ini kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi
Mbak."
"Sebaiknya iya."
"Wah saya belum punya alamat Mbak."
"Pakai alamat saya juga tidak apa-apa."
"Di mana Mbak?"
"No. 8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai,
Subang Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk
apa datang ke Malaysia, bilang saja untuk melancong
dan mengunjungi saudara."
"Iya Mbak."
Keduanya lalu masuk konter imigrasi. Tak ada
masalah berarti. Petugas imigrasi sama sekali tidak
bertanya apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya
visa multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk apa
datang ke Malaysia. Zul menjawab seperti yang
disarankan oleh Mari. Begitu keluar dari gedung, puluhan
sopir taksi menawarkan jasanya. Mari menjawab tegas
bahwa ia sudah ada yang menjemput. Zul agak bingung
menentukan langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya.
Ia masih ragu harus ke mana. Ia menatap ke
arah Mari yang melangkah dengan mantap. Mari
menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut
dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke
Kuala Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar
asing di negeri Jiran ini.
"Kita tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen
Larkin. Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya KL." Jelas
Mari.
Sepuluh menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan
puluhan penumpang berebutan naik. Bus itu mengantar
mereka ke Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari mengajak
Zul ke loketbus Trans Nasional.
"Biar saya yang bayar Dik."
"Jangan begitu Mbak, saya jadi tidak enak."
"Anggap saja kita bersaudara. Jadi santai saja."
"Satu orangnya berapa Mbak?"
"Dua puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada
toiletnya. Biar nyaman di perjalanan. Yuk kita segera
naik. Sepuluh menit lagi bus akan berangkat."
Mereka berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari
duduk di kursi yang berdekatan. Selain wajah Indonesia,
tampaklah wajah-wajah China, India dan Melayu
menjadi penumpang bus cepat itu. Sopirnya berwajah
Indonesia, dan tampaknya ia seorang Muslim, sebab
sebelum menjalankan bus ia membaca basmalah.
Bus berjalan keluar stesyen. Lalu melaju membelah
kota Johor Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah
jam kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor
Bahru, dan mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Bus itu
membelah perkebunan kelapa sawit. Zul memandang
ke kanan dan ke kiri yang tampak hanyalah
rimbunan pohon kelapa sawit yang bagai berlarian ke
belakang.
"Dari logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa."
Mari membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting
jaketnya sehingga benar-benar rapat sampai ke leher. Ia
tampaknya agak kedinginan.
"Iya Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau
Mbak?"
"Saya juga Jawa Dik. Saya asli Sragen."
"Maaf, e... Mbak sudah berumah tangga?"
"Sudah."
"Sudah punya anak dong Mbak?"
"Belum. Bagaimana mau punya anak lha wong
rumah tangga saya hanya berumur dua minggu."
"Cuma dua minggu?"
"Iya bisa dikatakan demikian."
"Suami Mbak meninggal?"
"Tidak. Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan
rasanya susah sekali untuk membina rumah tangga lagi."
"Maafkan saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal
yang tidak Mbak sukai."
"Ah tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian
itu telah menjadi bagian dalam sejarah hidup saya.
Memang menyakitkan jika diingat." Kata Mari sambil
mengambil nafas dalam-dalam. Seperti ada yang
menyesak dalam dadanya.
Zul diam saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. la
kuatir jika salah bicara justru akan memperburuk suasana.
"Mungkin ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk
sekadar melepas beban yang menyesak di dada. Dan
daripada selama perjalan diam saja/' Mari kembali
membuka percakapan. "Tidak apa-apa kan? Kau mau
mendengarkan kan Dik?" lanjutnya sambil memandangi
Zul. Zul jadi menoleh. Pandangan mereka bertemu.
Zul mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus
ke depan. Mari mulai bercerita,
"Saat itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya
berkenalan dengan orang yang kemudian jadi suami saya
itu, ya saat kuliah itu. Sebut saja namanya W. Saya tidak
mau mengingat nama lengkapnya. Saya sudah mengharamkan
diri saya untuk menyebut namanya. Saya
sangat membencinya hingga tujuh turunan.
"Baik saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah
gadis yang masih lugu. Sekaligus gadis desa yang mudah
terpikat dengan gemerlap duniawi. Agaknya W mengerti
benar karakter diri saya. Sehingga dia bisa begitu mudah
masuk dalam kehidupan saya. Ia begitu lihai memikat
dan menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu
memakai mobil mengkilat. Orangtua W adalah saudagar
kaya di Klewer dan Tanah Abang Jakarta. Dia sering
datang ke kost saya. Dan sering menyenangkan hati saya
dengan limpahan hadiahnya.
"Sampai akhirnya W mengatakan bahwa dia sangat
mencintai saya. Dia ingin sekali menikahi saya. Saya
seperti terbang di angkasa saat itu, karena sangat
gembira. Saya benar-benar sudah tergila-gila padanya.
Ibu saya sebenarnya tidak setuju saya kawin dengan W,
karena ibu saya ingin saya menikah dengan putra Pak
Modin yang sedang kuliah di IAIN Walisongo Semarang.
Saya sama sekali tidak mempedulikan keberatan ibu saya
itu. Itulah mungkin dosa besar saya pada ibu yang
membuat saya menderita dan menanggung nestapa.
"Ringkas cerita, kami pun menikah. Kami menikah
tahun 1998. Ia langsung memboyong saya ke Solo Baru.
Ternyata ia sudah punya rumah cukup mewah di sana.
Itu adalah hari yang sangat indah bagi saya. Seminggu
setelah menikah, W pamit untuk pergi ke Jakarta. Dia
bilang untuk urusan bisnis dengan temannya. Beberapa
hari setelah itu kiamat seolah datang. Langit seperti
runtuh menimpaku. W tertangkap polisi dalam keadaan
over dosis dengan seorang pelacur Jakarta. Ia masuk bui.
Keluarganya tidak peduli.
"Kakak perempuannya bahkan terang-terangan
mengatakan sangat membenci W. Dari kakak perempuannya
itulah saya tahu bahwa W sesungguhnya
lelaki yang sangat bejat. Bahkan lebih bejat daripada
makhluk paling bejat sedunia sekalipun. Saya nyaris
muntah ketika kakak perempuannya itu bercerita bahwa
dirinya pernah diperkosa oleh W saat W sedang sakau.
Ia tidak berdaya karena W mengancam akan membunuhnya.
W itu tega memperkosa kakak kandungnya
sendiri, apa tidak menjijikkan? Apa tidak melampaui
batas? Seketika itu, tanpa bisa ditawar lagi saya langsung
mengajukan gugatan cerai. Dan sejak itu saya benarbenar
jijik dengan kaum lelaki dan saya bersumpah tidak
akan menikah lagi!"
Ada nada amarah dalam kata-kata Mari. Ada
kebencian yang luar biasa di sana. Zul merasa ngeri
mendengarnya. Ia merasa bingung harus bersikap
bagaimana. Bus terus melaju dengan kecepatan di atas
seratus kilometer per jam. Mari diam tidak melanjutkan
ceritanya. Pandangannya lurus ke depart. Jika diamati
lebih seksama kedua mata itu sesungguhnya berkacakaca.
Sesaat lamanya keduanya dijaga oleh diam.
Akhirnya Zul memberanikan untuk membuka suara,
'Apa Mbak sampai sekarang masih jijik dengan
kaum lelaki. Termasuk saya?"
Mari mengambil nafas dalam-dalam,
"Saat ini tidak lagi. Saya berusaha bersikap adil. Saya
tidak boleh menimpakan dosa seorang W pada semua
kaum lelaki. Tapi jujur saya perlu proses yang sangat
panjang untuk bisa bersikap adil dan tidak jijik pada
kaum lelaki. Dan disebabkan rasa jijik dan trauma pada
lelaki saya pernah punya keinginan untuk hidup
berumah tangga dengan kaum perempuan saja."
"Sampai seperti itu Mbak."
"Iya. Gila bukan? Tapi jangan takut. Saya katakan,
saya pernah punya keinginan. Hanya pada taraf
keinginan. Dan itu pun dulu. Sekarang sudah tidak
lagi."
"Sejak kapan Mbak bisa kembali normal memandang
dunia. Maaf, untuk mudahnya saya katakan
kembali normal memandang dunia, termasuk kaum
lelakinya. Sebab menurut saya sikap jijik dan trauma
pada lelaki itu sikap tidak normal."
"Prosesnya sangat panjang. Sampai saya bertemu
dengan seorang Ustadzah. Dia lulusan pesantren. Dia ikut
suaminya yang sedang mengambil program doktor.
Ustadzah itu begitu sabar menyempatkan waktu untuk
memberikan pencerahan kepada kami, para tenaga kerja
wanita. Dan ia begitu sabar mendengarkan semua
keluhan saya. Saya pernah diajak oleh Ustadzah itu tidur
di rumahnya. Untuk melihat bagaimana keadaan rumah
tangganya. Dan saya melihat sendiri betapa besar kasih
sayang suami Ustadzah itu kepada keempat anaknya
yang semuanya perempuan. Sejak itulah saya tahu
bahwa ada juga lelaki baik di dunia ini."
"Bukankah Mbak memiliki seorang ayah?"
"Ya tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak
ada sejak saya berusia dua tahun. Jadi saya tidak ingat
apa-apa tentang ayah. Dan ibu tidak menikah lagi. Kakak
tertua saya lelaki. Tapi ia tidak begitu peduli pada saya."
Bus terus melaju. Sejauh mata memandang adalah
rerimbunan kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua.
"Bagaimana ceritanya Mbak bisa sampai ke
Malaysia. Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?"
"Kalau diceritakan semuanya panjang. Singkat saja
ya. Setelah suami dipenjara dan saya tahu siapa dia
sebenarnya, saya mengajukan gugatan cerai. Rumah di
Solo Baru disita polisi karena ternyata suami punya
piutang di beberapa bank yang cukup besar jumlahnya.
Saya tidak punya apa-apa. Ibu sudah renta. Saya anak
ragil. Saudara-saudara saya sudah berkeluarga. Mereka
juga hidup susah. Saya tidak berani meminta bantuan
mereka.
"Saya nekat merantau ke Jakarta untuk mencari
kerja. Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah
sebelum menikah saya sudah selasai D.3
Akuntansi. Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya
diterima bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan.
Saya sudah cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai
kurang lebih dua tahun. Saya bahkan sempat nyambung
kuliah, dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah Tinggi
Ilmu Ekonomi di Jakarta.
Tapi tiba-tiba entah bagaimana, mantan suami saya
itu bisa tahu nomor telpon saya dan menelpon saya. Dia
sudah keluar dari penjara dan meminta saya agar
kembali kepadanya. Saya takut. Saya langsung pergi
meninggalkan Jakarta hari itu juga. Saya bersembunyi
ke Bandung. Di Bandung ada agen pengiriman tenaga
kerja ke Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya
mengadu nasib dan terbang ke Malaysia. Sampai
sekarang saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau
saya di Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya
masih di Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu
akan mengejar saya."
"Kenapa mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah
perempuan yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi
oleh hukum?"
'Ah kamu ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup
di dalam kamar dan tidur, sehingga membuka jendela
pun tidak!? Dunia mantan suami saya adalah dunia
mafia. Dan dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih
baik saya di Malaysia dulu, baru kalau saya sudah
mendengar si W itu telah mampus, saya akan balik ke
Indonesia. Walau bagaimanapun saya punya saudara
dan saya sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin hidup
berkeluarga dan tenang di hari tua. Saya tidak akan
menyerah. Saya akan terus berusaha dan bertahan
sampai Tuhan memutuskan takdir finalnya untuk saya.
Semenderita dan sesengsaranya saya, saya masih percaya
bahwa Tuhan itu ada. Tuhan itu adil dan Dia juga Maha
Penyayang. Saya masih percaya itu Dik."
Zul hanya diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya
dia yang menghadapi perjalanan hidup yang rumit
dan sulit. Perempuan muda yang duduk di sampingnya
bisa jadi sebenarnya menjalani hidup yang lebih rumit
yang tidak sampai untuk dikisahkan kepada siapa pun.
"Kalau adik, bagaimana? Bagaimana bisa sampai
harus ke negeri Jiran ini? Adakah cerita yang bisa dibagi
dan didengar?" Mari balik bertanya. la merasa selama
ini dia yang banyak bercerita. la ingin gantian mendengarkan
cerita dari Zul.
"Perjalanan saya bisa sampai di dalam bus ini tak
kalah berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya
saja saya merasa tidak harus sekarang saya menceritakannya.
Saya janji saya akan gantian membagi
cerita saya pada Mbak. Saya yakin kita masih bisa
bertemu di negeri Jiran ini. Itu pun kalau Mbak benarbenar
masih sudi menemui saya."
"Masak tidak sudi. Memang saya ini siapa?"
"Kuatir, Mbak masih menyisakan rasa jijik itu."
"Ah, kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu
jika kelakuan kamu ternyata tidak berbeda dengan si
W, mantan suami saya itu."
"Mbak kok seolah yakin benar kalau kelakuan saya
berbeda dengan mantan suami Mbak. Kenapa Mbak
tidak waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak
saya jalan bersama?"
Mari tersenyum, lalu menjawab,
"Dengar ya Dik. Orang yang sudah pernah terluka
seperti saya ini bisa membaca bahasa tubuh orang
brengsek seperti mantan suami saya dan yang sejenisnya.
Dari cara lelaki memandang dan menatap saja saya sudah
tahu dia itu sebenarnya serigala atau tidak. Saya tahu
mana mata yang jelalatan dan yang tidak jelalatan. Saya
bisa meraba watak seseorang dari gerak dan binar
matanya. Tidak hanya mata kaum lelaki. Bahkan mata
kaum perempuan pun saya bisa membedakan mana
mata pelacur dan bukan pelacur. Mana mata perempuan
baik-baik dan perempuan tidak baik!"
"Jadi Mbak yakin saya ini orang baik?" sahutnya
sambil melihat ke luar jendela.
"Sejauh ini saya yakin. Tidak tahu satu dua jam ke
depan. Bisa jadi kepercayaan saya padamu berubah."
Jawab Mari tegas. Zul merasakan ketegasan itu. Kalimat
dan intonasi perempuan itu seolah juga memberitahukan
kepadanya agar ia jangan mencoba bersikap meremehkannya.
Dari ketegasan itu, Zul mengerti bahwa
perempuan muda di sampingnya adalah perempuan
yang memiliki karakter kuat. Dan tidak mau diremehkan.
Entah kenapa ia ingin memandang perempuan di
sampingnya itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak
dapat dilawannya. Ia pun memalingkan wajahnya perlahan dan
memandang ke arah wajah Mari. Mari
ternyata sedang memandang ke arahnya. Mata keduanya
bertemu sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam
hati Zul. Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura
ketulusan yang memancar darinya. Dan ada pesona yang
mampu membuat hati Zul merasakan getaran halus
yang masuk begitu saja.
"Apakah ada kilatan binar serigala dalam mataku
Mbak?"
Mari tersenyum, dan menjawab,
"Jujur saja Dik ya hampir di semua mata lelaki ada
binar liar serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah
menurut saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan
untuk menjaga pandangan."
Mendengar jawaban Mari, Zul diam dan tidak
berkata apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke luar
jendela. Ia memandang rerimbunan pohon kelapa sawit
yang seperti berlomba-lomba lari ke belakang. Dalam
hati Zul membenarkan perkataan Mari. Sebab saat ia
memandang wajah dan mata Mari dengan seksama, ia
menemukan sihir yang mampu mengubah dirinya
menjadi serigala. Tiba-tiba ia merasa menemukan
kalimat untuk menjawab perkataan Mari,
"Dan hampir semua wajah dan mata perempuan itu
memiliki sihir yang mampu mengubah lelaki jadi serigala.
Maka sebaiknya memang keduanya saling menjaga.
Agar tetap menjadi manusia yang mulia dan tidak
berubah menjadi manusia serigala."
Mari tersenyum mendengarnya.

mau tau kisah selanjutnya,  DOWNLOAD DI SINI

0 komentar:

Posting Komentar

 

SATU DARI SERIBU © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates