Mahkota Cinta
(Sebuah Novelet Pembangun Jiwa)
Satu
Mata
pemuda itu memandang ke luar jendela. Lautan
terhampar
di depan mata. Ombak seolah menari-nari
riang.
Sinar matahari memantul-mantul keperakan. Dari
karcis
yang ia pegang, ia tahu bahwa feri yang ia
tumpangi
bernama Lintas Samudera. Tujuan feri yang
bertolak
dari pelabuhan Batam itu adalah pelabuhan Johor
Bahru.
Ia
memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya.
Ia
meyakinkan dirinya harus kuat. Ya, sebagai lelaki ia
harus
kuat. Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa- siapa
lagi. Bagi
seorang lelaki cukuplah keteguhan hati
menjadi
teman dan penenteram jiwa.
la kembali
menegaskan niat, bahwa ia sedang
melakukan
pengembaraan untuk mengubah takdir.
Mengubah
nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani
berhijrah
dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang
lebih
baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan.
Singapura
semakin dekat di depan, dan Batam semakin
jauh di
belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak
menuju
Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru,
Malaysia.
"Baru
pertama ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan
muda yang
duduk di sampingnya. Perempuan itu
memakai
celana jin putih dan jaket ketat biru muda.
Rambutnya
diikat kucir kuda. Ia menaksir usia
perempuan
itu sekitar tiga puluhan lebih.
"Iya
Mbak. Mbak juga yang pertama?" jawabnya
balik
bertanya.
"Tidak.
Saya sudah empat tahun di Malaysia."
"Berarti
sejak tahun 2000 ya Mbak."
"Tidak.
Sejak awal 2001."
"Kerja
ya Mbak?"
"Iya
Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"
Ia berpikir
sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia
mau
bekerja atau mau sekolah. Sesungguhnya selama
ini ia
merantau dari satu daerah ke daerah lain, selain
untuk
bertahan hidup juga demi mencari takdir yang
lebih
baik.
"Kok
malah bengong Dik."
"E...
tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk dua
duanya. Ya
untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi."
"Baguslah.
Sudah ada pandangan mau kerja di
mana? Atau
sudah ada agen yang mengurus semuanya."
"Belum
sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak
kerja di
mana?"
"Saya
kerja di sebuah kilang di kawasan Subang
Jaya.
Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya
banyak
teman yang bisa membantu. O ya kenalkan,
nama saya
Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau Mari."
Perempuan
muda itu mengulurkan tangan kanannya.
Pemuda itu
juga mengulurkan tangannya dan
menjabat
tangan perempuan muda itu.
"Terima
kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh temanteman
saya
selama ini saya biasa dipanggil Zul Einstein."
"Wah
keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?"
"Ya
tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan
Einstein
oleh teman-teman saya karena mereka melihat
saya
banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau tidak
terima ya
tetap akan dipanggil begitu. Jadi, panggil saja
saya Zul
Mbak."
"Ya
baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata
perempuan
muda itu sambil melepaskan jabatan
tangannya.
"Jadi
Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?"
Perempuan
muda itu malah tertawa kecil.
"Kamu
memang masih asli Indonesia. Kilang itu
artinya
pabrik. Di Indonesia disebut pabrik. Sedangkan
di
Malaysia disebut kilang. Jadi bukan bermakna kilang minyak.
Saya kerja
di kilang kertas di kawasan Subang
Jaya. Itu
maknanya saya kerja di pabrik kertas."
"Obegituya."
"Rencananya
nanti mau ke mana? Di Malaysia sudah
ada tempat
yang dituju?"
"Tempat
yang dituju secara pasti tidak ada. Saya
hanya
membawa sebuah nama dan sebuah nomor telpon.
Saya ingin
sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru setelah
itu saya
akan telpon orang itu."
"Ya
syukurlah. Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur.
Kalau mau
kita bisa jalan bersama."
la diam
saja. Tidak menjawab apa-apa.
Lintas
Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat.
Dan juga
tidak terlalu lambat.
Setelah
menempuh perjalanan selama dua jam,
Lintas
Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru.
Begitu
pintu feri dibuka, para penumpang berebutan
keluar.
Zul keluar dengan membawa tas cangklong hi tarn
dan tas
jinjing besar biru tua. la mengiringi Mari yang
berjalan
di depannya. Perempuan itu menenteng tas
cangklong
putih dan koper kecil beroda warna hijau.
Mereka
berjalan menuju gedung pelabuhan.
Petugas
security pelabuhan sibuk memeriksa barang
bawaan
para penumpang. Tas dan koper Mari
diperiksa.
Setelah beberapa saat lamanya, Mari
dipersilakan
langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul
juga
diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa
makanan
ringan, dan sebuah mushaf Al-Quran kecil
pemberian
Pak Hasan kala ia berpamitan, sebelum
berangkat.
Petugas security itu memerintahkannya
untuk
terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi. Mari
sedang
serius mengisi formulir kedatangan untuk
imigrasi.
"Harus
diisi semua ya Mbak?" tanya Zul.
"Ya.
Kecuali kolom yang khusus diisi petugas
imigrasi,"
jawab Mari sambil tetap menulis. Sesekali ia
mencocokkan
apa yang ia tulis dengan paspornya.
"Ini
kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi
Mbak."
"Sebaiknya
iya."
"Wah
saya belum punya alamat Mbak."
"Pakai
alamat saya juga tidak apa-apa."
"Di
mana Mbak?"
"No.
8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai,
Subang
Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk
apa datang
ke Malaysia, bilang saja untuk melancong
dan
mengunjungi saudara."
"Iya
Mbak."
Keduanya
lalu masuk konter imigrasi. Tak ada
masalah
berarti. Petugas imigrasi sama sekali tidak
bertanya
apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya
visa
multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk apa
datang ke
Malaysia. Zul menjawab seperti yang
disarankan
oleh Mari. Begitu keluar dari gedung, puluhan
sopir
taksi menawarkan jasanya. Mari menjawab tegas
bahwa ia
sudah ada yang menjemput. Zul agak bingung
menentukan
langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya.
Ia masih
ragu harus ke mana. Ia menatap ke
arah Mari
yang melangkah dengan mantap. Mari
menoleh ke
arahnya dan melambaikan tangan agar ikut
dengannya.
Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke
Kuala
Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar
asing di
negeri Jiran ini.
"Kita
tunggu bus di sini. Kita akan menuju ke Stesyen
Larkin.
Dari Larkin kita naik bus ke Purduraya KL." Jelas
Mari.
Sepuluh
menit kemudian bus datang. Mari, Zul dan
puluhan
penumpang berebutan naik. Bus itu mengantar
mereka ke
Stesyen Larkin. Dari Larkin Mari mengajak
Zul ke
loketbus Trans Nasional.
"Biar
saya yang bayar Dik."
"Jangan
begitu Mbak, saya jadi tidak enak."
"Anggap
saja kita bersaudara. Jadi santai saja."
"Satu
orangnya berapa Mbak?"
"Dua
puluh empat ringgit. Kita pakai bus yang ada
toiletnya.
Biar nyaman di perjalanan. Yuk kita segera
naik.
Sepuluh menit lagi bus akan berangkat."
Mereka
berdua naik bus Trans Nasional. Zul dan Mari
duduk di
kursi yang berdekatan. Selain wajah Indonesia,
tampaklah
wajah-wajah China, India dan Melayu
menjadi
penumpang bus cepat itu. Sopirnya berwajah
Indonesia,
dan tampaknya ia seorang Muslim, sebab
sebelum
menjalankan bus ia membaca basmalah.
Bus
berjalan keluar stesyen. Lalu melaju membelah
kota Johor
Bahru dengan kecepatan sedang. Setengah
jam
kemudian bus itu sudah meninggalkan Johor
Bahru, dan
mulai melaju dengan kecepatan tinggi. Bus itu
membelah
perkebunan kelapa sawit. Zul memandang
ke kanan
dan ke kiri yang tampak hanyalah
rimbunan
pohon kelapa sawit yang bagai berlarian ke
belakang.
"Dari
logat adik bicara, sepertinya adik orang Jawa."
Mari
membuka pembicaraan sambil menaikkan resleting
jaketnya
sehingga benar-benar rapat sampai ke leher. Ia
tampaknya
agak kedinginan.
"Iya
Mbak benar. Saya asli Demak Mbak. Kalau
Mbak?"
"Saya
juga Jawa Dik. Saya asli Sragen."
"Maaf,
e... Mbak sudah berumah tangga?"
"Sudah."
"Sudah
punya anak dong Mbak?"
"Belum.
Bagaimana mau punya anak lha wong
rumah
tangga saya hanya berumur dua minggu."
"Cuma
dua minggu?"
"Iya
bisa dikatakan demikian."
"Suami
Mbak meninggal?"
"Tidak.
Saya minta cerai. Sejak itu saya trauma dan
rasanya
susah sekali untuk membina rumah tangga lagi."
"Maafkan
saya Mbak, jadi mengingatkan pada halhal
yang tidak
Mbak sukai."
"Ah
tidak apa-apa. Walau bagaimanapun kejadian
itu telah
menjadi bagian dalam sejarah hidup saya.
Memang
menyakitkan jika diingat." Kata Mari sambil
mengambil
nafas dalam-dalam. Seperti ada yang
menyesak
dalam dadanya.
Zul diam
saja. la merasa tidak saatnya ia bicara. la
kuatir
jika salah bicara justru akan memperburuk suasana.
"Mungkin
ada baiknya juga ya saya cerita. Ya untuk
sekadar
melepas beban yang menyesak di dada. Dan
daripada
selama perjalan diam saja/' Mari kembali
membuka
percakapan. "Tidak apa-apa kan? Kau mau
mendengarkan
kan Dik?" lanjutnya sambil memandangi
Zul. Zul
jadi menoleh. Pandangan mereka bertemu.
Zul
mengangguk pelan, lalu kembali memandang lurus
ke depan.
Mari mulai bercerita,
"Saat
itu saya masih kuliah di UNS Solo. Saya
berkenalan
dengan orang yang kemudian jadi suami saya
itu, ya
saat kuliah itu. Sebut saja namanya W. Saya tidak
mau mengingat
nama lengkapnya. Saya sudah mengharamkan
diri saya
untuk menyebut namanya. Saya
sangat
membencinya hingga tujuh turunan.
"Baik
saya lanjutkan ceritanya. Saat itu saya adalah
gadis yang
masih lugu. Sekaligus gadis desa yang mudah
terpikat
dengan gemerlap duniawi. Agaknya W mengerti
benar
karakter diri saya. Sehingga dia bisa begitu mudah
masuk
dalam kehidupan saya. Ia begitu lihai memikat
dan
menawan hati saya. Jika ke kampus dia selalu
memakai
mobil mengkilat. Orangtua W adalah saudagar
kaya di
Klewer dan Tanah Abang Jakarta. Dia sering
datang ke
kost saya. Dan sering menyenangkan hati saya
dengan
limpahan hadiahnya.
"Sampai
akhirnya W mengatakan bahwa dia sangat
mencintai
saya. Dia ingin sekali menikahi saya. Saya
seperti
terbang di angkasa saat itu, karena sangat
gembira.
Saya benar-benar sudah tergila-gila padanya.
Ibu saya
sebenarnya tidak setuju saya kawin dengan W,
karena ibu
saya ingin saya menikah dengan putra Pak
Modin yang
sedang kuliah di IAIN Walisongo Semarang.
Saya sama
sekali tidak mempedulikan keberatan ibu saya
itu.
Itulah mungkin dosa besar saya pada ibu yang
membuat
saya menderita dan menanggung nestapa.
"Ringkas
cerita, kami pun menikah. Kami menikah
tahun
1998. Ia langsung memboyong saya ke Solo Baru.
Ternyata
ia sudah punya rumah cukup mewah di sana.
Itu adalah
hari yang sangat indah bagi saya. Seminggu
setelah
menikah, W pamit untuk pergi ke Jakarta. Dia
bilang
untuk urusan bisnis dengan temannya. Beberapa
hari
setelah itu kiamat seolah datang. Langit seperti
runtuh
menimpaku. W tertangkap polisi dalam keadaan
over dosis
dengan seorang pelacur Jakarta. Ia masuk bui.
Keluarganya
tidak peduli.
"Kakak
perempuannya bahkan terang-terangan
mengatakan
sangat membenci W. Dari kakak perempuannya
itulah
saya tahu bahwa W sesungguhnya
lelaki
yang sangat bejat. Bahkan lebih bejat daripada
makhluk
paling bejat sedunia sekalipun. Saya nyaris
muntah
ketika kakak perempuannya itu bercerita bahwa
dirinya
pernah diperkosa oleh W saat W sedang sakau.
Ia tidak
berdaya karena W mengancam akan membunuhnya.
W itu tega
memperkosa kakak kandungnya
sendiri,
apa tidak menjijikkan? Apa tidak melampaui
batas?
Seketika itu, tanpa bisa ditawar lagi saya langsung
mengajukan
gugatan cerai. Dan sejak itu saya benarbenar
jijik
dengan kaum lelaki dan saya bersumpah tidak
akan
menikah lagi!"
Ada nada
amarah dalam kata-kata Mari. Ada
kebencian
yang luar biasa di sana. Zul merasa ngeri
mendengarnya.
Ia merasa bingung harus bersikap
bagaimana.
Bus terus melaju dengan kecepatan di atas
seratus
kilometer per jam. Mari diam tidak melanjutkan
ceritanya.
Pandangannya lurus ke depart. Jika diamati
lebih
seksama kedua mata itu sesungguhnya berkacakaca.
Sesaat
lamanya keduanya dijaga oleh diam.
Akhirnya
Zul memberanikan untuk membuka suara,
'Apa Mbak
sampai sekarang masih jijik dengan
kaum
lelaki. Termasuk saya?"
Mari
mengambil nafas dalam-dalam,
"Saat
ini tidak lagi. Saya berusaha bersikap adil. Saya
tidak
boleh menimpakan dosa seorang W pada semua
kaum
lelaki. Tapi jujur saya perlu proses yang sangat
panjang
untuk bisa bersikap adil dan tidak jijik pada
kaum
lelaki. Dan disebabkan rasa jijik dan trauma pada
lelaki
saya pernah punya keinginan untuk hidup
berumah
tangga dengan kaum perempuan saja."
"Sampai
seperti itu Mbak."
"Iya.
Gila bukan? Tapi jangan takut. Saya katakan,
saya pernah
punya keinginan. Hanya pada taraf
keinginan.
Dan itu pun dulu. Sekarang sudah tidak
lagi."
"Sejak
kapan Mbak bisa kembali normal memandang
dunia.
Maaf, untuk mudahnya saya katakan
kembali
normal memandang dunia, termasuk kaum
lelakinya.
Sebab menurut saya sikap jijik dan trauma
pada
lelaki itu sikap tidak normal."
"Prosesnya
sangat panjang. Sampai saya bertemu
dengan
seorang Ustadzah. Dia lulusan pesantren. Dia ikut
suaminya
yang sedang mengambil program doktor.
Ustadzah
itu begitu sabar menyempatkan waktu untuk
memberikan
pencerahan kepada kami, para tenaga kerja
wanita.
Dan ia begitu sabar mendengarkan semua
keluhan
saya. Saya pernah diajak oleh Ustadzah itu tidur
di
rumahnya. Untuk melihat bagaimana keadaan rumah
tangganya.
Dan saya melihat sendiri betapa besar kasih
sayang
suami Ustadzah itu kepada keempat anaknya
yang
semuanya perempuan. Sejak itulah saya tahu
bahwa ada
juga lelaki baik di dunia ini."
"Bukankah
Mbak memiliki seorang ayah?"
"Ya
tentu saja punya. Namun ayah saya sudah tidak
ada sejak
saya berusia dua tahun. Jadi saya tidak ingat
apa-apa
tentang ayah. Dan ibu tidak menikah lagi. Kakak
tertua
saya lelaki. Tapi ia tidak begitu peduli pada saya."
Bus terus
melaju. Sejauh mata memandang adalah
rerimbunan
kebun kelapa sawit yang tampak hijau tua.
"Bagaimana
ceritanya Mbak bisa sampai ke
Malaysia.
Dan apa sebenarnya yang Mbak cari?"
"Kalau
diceritakan semuanya panjang. Singkat saja
ya.
Setelah suami dipenjara dan saya tahu siapa dia
sebenarnya,
saya mengajukan gugatan cerai. Rumah di
Solo Baru
disita polisi karena ternyata suami punya
piutang di
beberapa bank yang cukup besar jumlahnya.
Saya tidak
punya apa-apa. Ibu sudah renta. Saya anak
ragil.
Saudara-saudara saya sudah berkeluarga. Mereka
juga hidup
susah. Saya tidak berani meminta bantuan
mereka.
"Saya
nekat merantau ke Jakarta untuk mencari
kerja.
Kebetulan ada teman yang mengajak. Alhamdulillah
sebelum
menikah saya sudah selasai D.3
Akuntansi.
Dan dengan berbekal ijazah D.3, saya
diterima
bekerja di sebuah supermarket di Jakarta Selatan.
Saya sudah
cukup nyaman saat itu. Saya hidup damai
kurang
lebih dua tahun. Saya bahkan sempat nyambung
kuliah,
dan menyelesaikan S.l di sebuah Sekolah Tinggi
Ilmu
Ekonomi di Jakarta.
Tapi
tiba-tiba entah bagaimana, mantan suami saya
itu bisa
tahu nomor telpon saya dan menelpon saya. Dia
sudah
keluar dari penjara dan meminta saya agar
kembali
kepadanya. Saya takut. Saya langsung pergi
meninggalkan
Jakarta hari itu juga. Saya bersembunyi
ke
Bandung. Di Bandung ada agen pengiriman tenaga
kerja ke
Malaysia. Saya ikut agen. Akhirnya saya
mengadu
nasib dan terbang ke Malaysia. Sampai
sekarang
saudara-saudara saya tidak saya beritahu kalau
saya di
Malaysia. Terakhir saya nelpon mereka saat saya
masih di
Bandung. Saya kuatir mantan suami saya itu
akan mengejar
saya."
"Kenapa
mesti takut Mbak. Bukankah Mbak adalah
perempuan
yang merdeka. Dan Mbak akan dilindungi
oleh
hukum?"
'Ah kamu
ini Dik. Apa selama ini kamu hanya hidup
di dalam
kamar dan tidur, sehingga membuka jendela
pun
tidak!? Dunia mantan suami saya adalah dunia
mafia. Dan
dunia mafia tidak mengenal hukum. Lebih
baik saya
di Malaysia dulu, baru kalau saya sudah
mendengar
si W itu telah mampus, saya akan balik ke
Indonesia.
Walau bagaimanapun saya punya saudara
dan saya
sangat rindu pada mereka. Saya pun ingin hidup
berkeluarga
dan tenang di hari tua. Saya tidak akan
menyerah.
Saya akan terus berusaha dan bertahan
sampai
Tuhan memutuskan takdir finalnya untuk saya.
Semenderita
dan sesengsaranya saya, saya masih percaya
bahwa
Tuhan itu ada. Tuhan itu adil dan Dia juga Maha
Penyayang.
Saya masih percaya itu Dik."
Zul hanya
diam mendengarnya. Ternyata tidak hanya
dia yang
menghadapi perjalanan hidup yang rumit
dan sulit.
Perempuan muda yang duduk di sampingnya
bisa jadi
sebenarnya menjalani hidup yang lebih rumit
yang tidak
sampai untuk dikisahkan kepada siapa pun.
"Kalau
adik, bagaimana? Bagaimana bisa sampai
harus ke
negeri Jiran ini? Adakah cerita yang bisa dibagi
dan
didengar?" Mari balik bertanya. la merasa selama
ini dia
yang banyak bercerita. la ingin gantian mendengarkan
cerita
dari Zul.
"Perjalanan
saya bisa sampai di dalam bus ini tak
kalah
berlikunya dari apa yang Mbak ceritakan. Hanya
saja saya
merasa tidak harus sekarang saya menceritakannya.
Saya janji
saya akan gantian membagi
cerita
saya pada Mbak. Saya yakin kita masih bisa
bertemu di
negeri Jiran ini. Itu pun kalau Mbak benarbenar
masih sudi
menemui saya."
"Masak
tidak sudi. Memang saya ini siapa?"
"Kuatir,
Mbak masih menyisakan rasa jijik itu."
"Ah,
kamu ini. Ya saya akan merasa jijik sama kamu
jika
kelakuan kamu ternyata tidak berbeda dengan si
W, mantan
suami saya itu."
"Mbak
kok seolah yakin benar kalau kelakuan saya
berbeda
dengan mantan suami Mbak. Kenapa Mbak
tidak
waspada? Kenapa Mbak justru malah mengajak
saya jalan
bersama?"
Mari
tersenyum, lalu menjawab,
"Dengar
ya Dik. Orang yang sudah pernah terluka
seperti
saya ini bisa membaca bahasa tubuh orang
brengsek
seperti mantan suami saya dan yang sejenisnya.
Dari cara
lelaki memandang dan menatap saja saya sudah
tahu dia
itu sebenarnya serigala atau tidak. Saya tahu
mana mata
yang jelalatan dan yang tidak jelalatan. Saya
bisa
meraba watak seseorang dari gerak dan binar
matanya.
Tidak hanya mata kaum lelaki. Bahkan mata
kaum
perempuan pun saya bisa membedakan mana
mata
pelacur dan bukan pelacur. Mana mata perempuan
baik-baik
dan perempuan tidak baik!"
"Jadi
Mbak yakin saya ini orang baik?" sahutnya
sambil
melihat ke luar jendela.
"Sejauh
ini saya yakin. Tidak tahu satu dua jam ke
depan.
Bisa jadi kepercayaan saya padamu berubah."
Jawab Mari
tegas. Zul merasakan ketegasan itu. Kalimat
dan
intonasi perempuan itu seolah juga memberitahukan
kepadanya
agar ia jangan mencoba bersikap meremehkannya.
Dari
ketegasan itu, Zul mengerti bahwa
perempuan
muda di sampingnya adalah perempuan
yang memiliki
karakter kuat. Dan tidak mau diremehkan.
Entah
kenapa ia ingin memandang perempuan di
sampingnya
itu dengan lebih dalam. Keinginan itu tidak
dapat
dilawannya. Ia pun memalingkan wajahnya perlahan dan
memandang
ke arah wajah Mari. Mari
ternyata
sedang memandang ke arahnya. Mata keduanya
bertemu
sesaat. Ada getaran halus masuk ke dalam
hati Zul.
Wajah Mari tampak kurus, tapi ada aura
ketulusan
yang memancar darinya. Dan ada pesona yang
mampu
membuat hati Zul merasakan getaran halus
yang masuk
begitu saja.
"Apakah
ada kilatan binar serigala dalam mataku
Mbak?"
Mari
tersenyum, dan menjawab,
"Jujur
saja Dik ya hampir di semua mata lelaki ada
binar liar
serigala ketika melihat perempuan. Untuk itulah
menurut
saya kenapa kaum lelaki diminta oleh Tuhan
untuk menjaga
pandangan."
Mendengar
jawaban Mari, Zul diam dan tidak
berkata
apa-apa. Ia mengalihkan pandangannya ke luar
jendela.
Ia memandang rerimbunan pohon kelapa sawit
yang
seperti berlomba-lomba lari ke belakang. Dalam
hati Zul
membenarkan perkataan Mari. Sebab saat ia
memandang
wajah dan mata Mari dengan seksama, ia
menemukan
sihir yang mampu mengubah dirinya
menjadi
serigala. Tiba-tiba ia merasa menemukan
kalimat
untuk menjawab perkataan Mari,
"Dan
hampir semua wajah dan mata perempuan itu
memiliki
sihir yang mampu mengubah lelaki jadi serigala.
Maka
sebaiknya memang keduanya saling menjaga.
Agar tetap
menjadi manusia yang mulia dan tidak
berubah
menjadi manusia serigala."
Mari
tersenyum mendengarnya.
mau tau kisah selanjutnya, DOWNLOAD DI SINI
0 komentar:
Posting Komentar