Waduh, nuduh nih! Eits, bukan nuduh, tapi ini sih udah ngejeblagin
alias dibeberin dah. Hehehe… sori, kamu yang suka narsis sebenarnya
nggak bakalan bisa eksis. Lama-lama orang tahu kok jeroan kamu kayak
gimana. Bener!
Nah, ngomong-ngomong soal narsis, sebenarnya dalam Islam diatur banget lho. Urusan narsis alias cinta kepada diri sendiri secara berlebihan ini dibahas dalam syariat. Perilaku narsis ini dalam level tertentu malah memunculkan adanya keinginan untuk tampil dilihat orang. Nah, perilaku narsis ini dalam Islam ada aturan mainnya, khususnya kalo udah nyangkut amal shalih. Bener lho. Jangan sampe kamu dijajah oleh pikiran dan perasaan kamu ingin dianggap ngetop, ingin dianggap ibadahnya paling getol dan paling sempurna, ingin mendapat perhatian dan simpati orang lain. Sehingga kamu dapetin semua label itu setelah kamu “jual diri” kamu sedemikian rupa dengan harapan teman kamu akan melirik kamu dan menganggap kamu lebih dalam segala hal. Ibadah dan amalan shalih yang kamu kerjakan, jika itu disusupi dengan sifat riya’ menjadi sia-sia, Bro. Tahan ya supaya kamu nggak sampe jatuh ke dalam sifat riya’ tersebut.
Allah Swt. berfirman (yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.” (QS an-Nisaa’ [4]: 38)
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, Allah Ta’ala udah ngasih ‘rambu-rambu’ dengan jelas dalam al-Quran mengenai sifat riya’ ini. So, jangan sampe deh kita beramal baik dan beribadah tapi disusupi oleh sifat ingin dipuji dan dilihat oleh orang lain sebagai orang yang lebih dibanding mereka dalam beramal baik dan beribadah tersebut.
Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis qudsi (yakni hadis yang disandarkan kepada Allah Swt., kemudian Rasulullah saw. menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah Swt.), “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku terkaya dari semua sekutu untuk mempersekutukan, maka siapa saja yang telah beramal suatu perbuatan yang dipersekutukan dengan yang lain, maka Aku tinggalkan ia dengan sekutunya itu.” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra.)
Sobat muda muslim, satu ilmu lagi kita dapat. Hadis qudsi ini kian mengukuhkan bahwa Allah Swt. nggak bakalan nerima ibadah dan amalan shalih kita jika dalam melakukannya masih ada jejak riya’. Duh, sia-sia banget kan?
Dalam buku Mengarungi Samudera Ikhlas, karya Ustad Rachmat Ramadhana al-Banjari, beliau mengutip pendapatnya Imam al-Ghazaly rahimahullah. Menurut Imam al-Ghazaly, riya’ itu dibagi menjadi lima bagian. Pertama, riya’ dalam masalah agama dengan penampilan jasmani, seperti memperlihatkan kurusnya badan dan pucatnya muka; sehingga dengan kurusnya badan orang mengira dia banyak berpuasa dan dengan pucatnya wajah orang akan mengira ia adalah orang yang banyak berjaga malam dalam melakukan shalat tahajud.
Hehehe.. kalo kita sih kayaknya emang kenyataan kali ye. Badan kurus karena lupa makan disebabkan waktunya lebih banyak digunakan main PS dan game online atau muka pucat karena sering terjaga di malam hari disebabkan kecanduan online di facebook. Huahahaha.. nggak seru amat. Tapi, ya kalo pun kita memang kenyataannya adalah banyak puasa sunnah dan shalat malam, namun nggak harus kan badan sampe kurus dan muka pucat? Lagi pula nggak perlu deh kita koar-koar di timeline twitter dan wall facebook kita bahwa kita sedang beribadah ini dan itu. Ok?
Kedua, menurut Imam al-Ghazaly tentang riya’, adalah riya’ dengan penampilan sosok tubuh dan pakaian, seperti membiarkan bekas-bekas sujud di dahi, supaya dikatakan rajin shalat dan ahli sujud, atau dengan memakai pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang shalih agar ia dikatakan termasuk shalih.
Bro, ini emang tergantung niat dan kenyataan. Kalo emang faktanya ada bekas sujud di dahi kita (warna hitam) karena sering melakukan shalat malam (maklum kalo shalat malam kan waktu sujudnya dianjurkan lama dari shalat yang biasanya), tapi jangan sampe kita ngerasa untuk memamerkan ke orang-orang bahwa kita rajin shalat malam. Nanti amalan kita nguap gitu aja. Sebab, yang kita harapkan adalah ridho Allah Swt., juga pujian dari Allah bukan ridho dan pujian dari manusia. Iya kan?
Soal ini, dulu ada temen saya yang guyonan ke orang yang sepertinya ngerasa bangga punya tanda hitam di dahi. Temen saya bilang, “jangan bangga dulu punya tanda hitam yang hanya di dahi, kalo saya sih di sekujur tubuh,” komentarnya sambil tertawa. Kebetulan emang yang bilang ini adalah pembalap alias pemuda berbadan gelap. Wakakakak…
Ketiga, Imam al-Ghazaly membagi bentuk riya’ dalam hal perkataan. Misalnya, selalu berbicara masalah keagamaan supaya dikatakan orang bahwa ia ahli agama atau pecinta agama.
Sobat gaulislam, kalo faktanya bahwa kamu selalu berbicara masalah agama dengan teman kamu dan niatnya bukan karena ingin dianggap ahli agama, insya Allah bukan riya’. So, semua perbuatan itu tergantung niatnya. Itu sebabnya, yang tahu bahwa kita riya’ atau nggak adalah kita dengan Allah Swt. Tapi, orang lain pun insya Allah bisa ‘menebak’ apa yang kita katakan dan umumnya orang merasa bangga dengan apa yang dikatakannya dalam hal-hal tertentu yang bisa membuat orang lain simpati atau mengagumi dirinya. Benar banget apa yang disampaikan Imam al-Ghazaly.
Keempat, Imam al-Ghazaly memasukkan bentuk riya’ dalam hal perbuatan. Misalnya nih, sengaja memperbanyak shalat sunat di hadapan orang lain supaya dikatakan shalih.
Bro en Sis, kalo kamu di sekolah pas jam istirahat pertama (biasanya jam 10-an gitu deh) pergi ke mushola dan melakukan shalat dhuha. Terus sengaja pamerin diri (niat dalam hati) bahwa apa yang kamu lakukan itu supaya teman-teman kamu memujimu sebagai anak yang shalih. Waduh, itu udah masuk kategori riya’. Tapi kalo kamu kuat tahan dari godaan riya’ dan memang tiap hari juga melakukan shalat dhuha, ada atau tanpa ada yang melihat dan niat dalam hati bukan karena ingin dipuji orang lain, insya Allah hal itu nggak termasuk riya’. Jadi, emang kembali kepada niat kita dalam berbuat.
Nah, yang terakhir dalam pembagian riya’ menurut Imam al-Ghazaly, yakni riya’ dalam hal persahabatan. Kok bisa? Iya, misalnya nih kamu harus menjadwalkan dan bahkan memberati diri untuk selalu mengiringi guru ngaji kamu kemana pun ia melakukan kegiatan, dengan harapan bahwa kamu akan dipuji oleh teman-teman kamu sebagai orang yang alim.
Bro en Sis, penyakit riya’ ini emang bahaya banget. Kudu ati-ati jangan sampe kita menjadikan setiap amalan disusupi dengan riya’ karena akan menjadi sia-sia. Ih, nggak banget kan? Amalan yang banyak tapi bukan diniatkan karena Allah Swt. akan berakhir dengan kesia-siaan. Ini memang perkara gampang secara teori, tapi susah dalam praktik. Mudah-mudahan kita semua bisa beribadah dan beramal hanya karena ingin mendapat ridho Allah Swt., bukan ridho dan sanjung puji dari manusia. Setuju kan?
Nah, kalo gitu, nggak usah narsis deh dalam urusan amal shalih. Diem-diem aja. Sebab, yakinlah bahwa Allah Ta’ala Maha Melihat apa yang kita kerjakan dan bahkan yang kita niatkan. Waspadalah!
Selain riya’, jangan juga sum’ah
Apa arti sum’ah? Kamu udah tahu? Yup, sum’ah itu adalah sikap atau sifat senang dan gemar memperdengarkan amal perbuatan yang telah ia lakukan kepada orang lain dengan harapan agar orang lain menyanjung dan memujinya. Sum’ah ini sebenarnya bagian dari penyakit riya’, ‘ujub, dan takabur. Tapi dengan fokus penjelasan yang sedikit berbeda.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, sikap sum’ah ini memang nggak kerasa banget ya menyusup dalam hati dan pikiran kita. Kalo kita kebetulan pernah menolong orang, lalu orang bercerita tentang kebaikan kita, kita senang banget mendengarnya dan bahkan dengan sengaja kita berusaha mengungkit-ungkit masa lalu tersebut dan memancing-mancing agar orang yang tahu masalahnya untuk bercerita kepada orang lain di hadapan kita dengan harapan kita akan merasa bangga mendengar hal itu. Waduh, kalo sampe kayak gitu, berarti kita udah kena tuh penyakit sum’ah ini. Ati-ati ya!
Contoh lainnya adalah ketika kamu pandai membaca al-Quran dengan tajwid yang benar dan suara yang merdu. Nah, karena ingin agar orang-orang di sekitar kamu mendengar bacaan kamu itu, lalu kamu keraskan suaramu sambil berharap orang-orang yang ngedengerin tersebut berdecak kagum dan memuji amalan kamu itu. Ini sifat sum’ah sobat, nggak baik kamu melakukannya. Memang sih ada manfaatnya yakni kamu bisa dikenal dan dipuji oleh orang lain karena kelebihan yang kamu miliki. Tapi, manfaat itu jadi nggak ada artinya karena keikhlasanmu ternoda sifat itu, dan tentu aja Allah Swt. nggak suka kita berbuat demikian. Bahkan konsekuensinya, amalan kita terancam sia-sia karena berbuat bukan atas keikhlasan karena Allah Swt. Hadeeuuh…
Kalo faktanya memang kamu bisa seperti itu. Nggak usah mikir akan dipuji orang lain. Lurus-lurus saja, toh kalo pun memang mereka memujimu, anggap saja bagian dari “efek samping” perbuatan baikmu itu. So, jagalah hati dan pikiranmu agar keikhlasanmu tak ternoda sikap sum’ah ini.
BTW, sedikit melenceng dari pembahasan tapi masih ada hubungannya yakni ketika kamu merasa bangga dengan dosa-dosa yang telah kamu perbuat. Kalo sikap sum’ah itu kan senang mendengar atau memperdengarkan amalan baik yang pernah kita lakukan. Nah, lebih parah kalo ada orang yang merasa bangga ketika perbuatan maksiatnya disebut-sebut orang dan dia berusaha untuk memberikan imej bahwa dirinya memang pernah berbuat dosa dan merasa bangga dengan dosa-dosa tersebut. Bangga ketika ada orang yang menyebut dirinya pezina, sering nenggak minuman keras, aktif sebagai pengunan narkoba dan jenis maksiat lainnya. Bukan hanya itu, ia merasa harus memancing-mancing perkataan kawan-kawannya agar membicarakan dosa yang telah diperbuatnya agar orang lain tahu. Waduh, itu sih sama dengan membuka aib sendiri. Bukannya menyesal dan bertobat malah bangga dengan dosa. Udah gitu, masih jadi pelaku aktif lagi. Ih, naudzubillahi mindzalik.
Oke deh, jangan coba-coba narsis ya. Narsis dalam hal kehidupan secara umum aja nyebelin dan nggak disuka teman, apalagi dalam masalah ibadah (amal shalih), bisa-bisa kamu nggak akan eksis di hadapan Allah karena amalanmu menguap semua nggak berbekas digerogoti riya’ dan sum’ah. Jangan sampe deh. Ayo, benahi ikhlas kita. Mulai sekarang juga. Bismillah.
Nah, ngomong-ngomong soal narsis, sebenarnya dalam Islam diatur banget lho. Urusan narsis alias cinta kepada diri sendiri secara berlebihan ini dibahas dalam syariat. Perilaku narsis ini dalam level tertentu malah memunculkan adanya keinginan untuk tampil dilihat orang. Nah, perilaku narsis ini dalam Islam ada aturan mainnya, khususnya kalo udah nyangkut amal shalih. Bener lho. Jangan sampe kamu dijajah oleh pikiran dan perasaan kamu ingin dianggap ngetop, ingin dianggap ibadahnya paling getol dan paling sempurna, ingin mendapat perhatian dan simpati orang lain. Sehingga kamu dapetin semua label itu setelah kamu “jual diri” kamu sedemikian rupa dengan harapan teman kamu akan melirik kamu dan menganggap kamu lebih dalam segala hal. Ibadah dan amalan shalih yang kamu kerjakan, jika itu disusupi dengan sifat riya’ menjadi sia-sia, Bro. Tahan ya supaya kamu nggak sampe jatuh ke dalam sifat riya’ tersebut.
Allah Swt. berfirman (yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya’ kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.” (QS an-Nisaa’ [4]: 38)
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, Allah Ta’ala udah ngasih ‘rambu-rambu’ dengan jelas dalam al-Quran mengenai sifat riya’ ini. So, jangan sampe deh kita beramal baik dan beribadah tapi disusupi oleh sifat ingin dipuji dan dilihat oleh orang lain sebagai orang yang lebih dibanding mereka dalam beramal baik dan beribadah tersebut.
Rasulullah saw. bersabda dalam sebuah hadis qudsi (yakni hadis yang disandarkan kepada Allah Swt., kemudian Rasulullah saw. menceritakan dan meriwayatkannya dari Allah Swt.), “Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku terkaya dari semua sekutu untuk mempersekutukan, maka siapa saja yang telah beramal suatu perbuatan yang dipersekutukan dengan yang lain, maka Aku tinggalkan ia dengan sekutunya itu.” (HR Muslim dari Abu Hurairah ra.)
Sobat muda muslim, satu ilmu lagi kita dapat. Hadis qudsi ini kian mengukuhkan bahwa Allah Swt. nggak bakalan nerima ibadah dan amalan shalih kita jika dalam melakukannya masih ada jejak riya’. Duh, sia-sia banget kan?
Dalam buku Mengarungi Samudera Ikhlas, karya Ustad Rachmat Ramadhana al-Banjari, beliau mengutip pendapatnya Imam al-Ghazaly rahimahullah. Menurut Imam al-Ghazaly, riya’ itu dibagi menjadi lima bagian. Pertama, riya’ dalam masalah agama dengan penampilan jasmani, seperti memperlihatkan kurusnya badan dan pucatnya muka; sehingga dengan kurusnya badan orang mengira dia banyak berpuasa dan dengan pucatnya wajah orang akan mengira ia adalah orang yang banyak berjaga malam dalam melakukan shalat tahajud.
Hehehe.. kalo kita sih kayaknya emang kenyataan kali ye. Badan kurus karena lupa makan disebabkan waktunya lebih banyak digunakan main PS dan game online atau muka pucat karena sering terjaga di malam hari disebabkan kecanduan online di facebook. Huahahaha.. nggak seru amat. Tapi, ya kalo pun kita memang kenyataannya adalah banyak puasa sunnah dan shalat malam, namun nggak harus kan badan sampe kurus dan muka pucat? Lagi pula nggak perlu deh kita koar-koar di timeline twitter dan wall facebook kita bahwa kita sedang beribadah ini dan itu. Ok?
Kedua, menurut Imam al-Ghazaly tentang riya’, adalah riya’ dengan penampilan sosok tubuh dan pakaian, seperti membiarkan bekas-bekas sujud di dahi, supaya dikatakan rajin shalat dan ahli sujud, atau dengan memakai pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang shalih agar ia dikatakan termasuk shalih.
Bro, ini emang tergantung niat dan kenyataan. Kalo emang faktanya ada bekas sujud di dahi kita (warna hitam) karena sering melakukan shalat malam (maklum kalo shalat malam kan waktu sujudnya dianjurkan lama dari shalat yang biasanya), tapi jangan sampe kita ngerasa untuk memamerkan ke orang-orang bahwa kita rajin shalat malam. Nanti amalan kita nguap gitu aja. Sebab, yang kita harapkan adalah ridho Allah Swt., juga pujian dari Allah bukan ridho dan pujian dari manusia. Iya kan?
Soal ini, dulu ada temen saya yang guyonan ke orang yang sepertinya ngerasa bangga punya tanda hitam di dahi. Temen saya bilang, “jangan bangga dulu punya tanda hitam yang hanya di dahi, kalo saya sih di sekujur tubuh,” komentarnya sambil tertawa. Kebetulan emang yang bilang ini adalah pembalap alias pemuda berbadan gelap. Wakakakak…
Ketiga, Imam al-Ghazaly membagi bentuk riya’ dalam hal perkataan. Misalnya, selalu berbicara masalah keagamaan supaya dikatakan orang bahwa ia ahli agama atau pecinta agama.
Sobat gaulislam, kalo faktanya bahwa kamu selalu berbicara masalah agama dengan teman kamu dan niatnya bukan karena ingin dianggap ahli agama, insya Allah bukan riya’. So, semua perbuatan itu tergantung niatnya. Itu sebabnya, yang tahu bahwa kita riya’ atau nggak adalah kita dengan Allah Swt. Tapi, orang lain pun insya Allah bisa ‘menebak’ apa yang kita katakan dan umumnya orang merasa bangga dengan apa yang dikatakannya dalam hal-hal tertentu yang bisa membuat orang lain simpati atau mengagumi dirinya. Benar banget apa yang disampaikan Imam al-Ghazaly.
Keempat, Imam al-Ghazaly memasukkan bentuk riya’ dalam hal perbuatan. Misalnya nih, sengaja memperbanyak shalat sunat di hadapan orang lain supaya dikatakan shalih.
Bro en Sis, kalo kamu di sekolah pas jam istirahat pertama (biasanya jam 10-an gitu deh) pergi ke mushola dan melakukan shalat dhuha. Terus sengaja pamerin diri (niat dalam hati) bahwa apa yang kamu lakukan itu supaya teman-teman kamu memujimu sebagai anak yang shalih. Waduh, itu udah masuk kategori riya’. Tapi kalo kamu kuat tahan dari godaan riya’ dan memang tiap hari juga melakukan shalat dhuha, ada atau tanpa ada yang melihat dan niat dalam hati bukan karena ingin dipuji orang lain, insya Allah hal itu nggak termasuk riya’. Jadi, emang kembali kepada niat kita dalam berbuat.
Nah, yang terakhir dalam pembagian riya’ menurut Imam al-Ghazaly, yakni riya’ dalam hal persahabatan. Kok bisa? Iya, misalnya nih kamu harus menjadwalkan dan bahkan memberati diri untuk selalu mengiringi guru ngaji kamu kemana pun ia melakukan kegiatan, dengan harapan bahwa kamu akan dipuji oleh teman-teman kamu sebagai orang yang alim.
Bro en Sis, penyakit riya’ ini emang bahaya banget. Kudu ati-ati jangan sampe kita menjadikan setiap amalan disusupi dengan riya’ karena akan menjadi sia-sia. Ih, nggak banget kan? Amalan yang banyak tapi bukan diniatkan karena Allah Swt. akan berakhir dengan kesia-siaan. Ini memang perkara gampang secara teori, tapi susah dalam praktik. Mudah-mudahan kita semua bisa beribadah dan beramal hanya karena ingin mendapat ridho Allah Swt., bukan ridho dan sanjung puji dari manusia. Setuju kan?
Nah, kalo gitu, nggak usah narsis deh dalam urusan amal shalih. Diem-diem aja. Sebab, yakinlah bahwa Allah Ta’ala Maha Melihat apa yang kita kerjakan dan bahkan yang kita niatkan. Waspadalah!
Selain riya’, jangan juga sum’ah
Apa arti sum’ah? Kamu udah tahu? Yup, sum’ah itu adalah sikap atau sifat senang dan gemar memperdengarkan amal perbuatan yang telah ia lakukan kepada orang lain dengan harapan agar orang lain menyanjung dan memujinya. Sum’ah ini sebenarnya bagian dari penyakit riya’, ‘ujub, dan takabur. Tapi dengan fokus penjelasan yang sedikit berbeda.
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, sikap sum’ah ini memang nggak kerasa banget ya menyusup dalam hati dan pikiran kita. Kalo kita kebetulan pernah menolong orang, lalu orang bercerita tentang kebaikan kita, kita senang banget mendengarnya dan bahkan dengan sengaja kita berusaha mengungkit-ungkit masa lalu tersebut dan memancing-mancing agar orang yang tahu masalahnya untuk bercerita kepada orang lain di hadapan kita dengan harapan kita akan merasa bangga mendengar hal itu. Waduh, kalo sampe kayak gitu, berarti kita udah kena tuh penyakit sum’ah ini. Ati-ati ya!
Contoh lainnya adalah ketika kamu pandai membaca al-Quran dengan tajwid yang benar dan suara yang merdu. Nah, karena ingin agar orang-orang di sekitar kamu mendengar bacaan kamu itu, lalu kamu keraskan suaramu sambil berharap orang-orang yang ngedengerin tersebut berdecak kagum dan memuji amalan kamu itu. Ini sifat sum’ah sobat, nggak baik kamu melakukannya. Memang sih ada manfaatnya yakni kamu bisa dikenal dan dipuji oleh orang lain karena kelebihan yang kamu miliki. Tapi, manfaat itu jadi nggak ada artinya karena keikhlasanmu ternoda sifat itu, dan tentu aja Allah Swt. nggak suka kita berbuat demikian. Bahkan konsekuensinya, amalan kita terancam sia-sia karena berbuat bukan atas keikhlasan karena Allah Swt. Hadeeuuh…
Kalo faktanya memang kamu bisa seperti itu. Nggak usah mikir akan dipuji orang lain. Lurus-lurus saja, toh kalo pun memang mereka memujimu, anggap saja bagian dari “efek samping” perbuatan baikmu itu. So, jagalah hati dan pikiranmu agar keikhlasanmu tak ternoda sikap sum’ah ini.
BTW, sedikit melenceng dari pembahasan tapi masih ada hubungannya yakni ketika kamu merasa bangga dengan dosa-dosa yang telah kamu perbuat. Kalo sikap sum’ah itu kan senang mendengar atau memperdengarkan amalan baik yang pernah kita lakukan. Nah, lebih parah kalo ada orang yang merasa bangga ketika perbuatan maksiatnya disebut-sebut orang dan dia berusaha untuk memberikan imej bahwa dirinya memang pernah berbuat dosa dan merasa bangga dengan dosa-dosa tersebut. Bangga ketika ada orang yang menyebut dirinya pezina, sering nenggak minuman keras, aktif sebagai pengunan narkoba dan jenis maksiat lainnya. Bukan hanya itu, ia merasa harus memancing-mancing perkataan kawan-kawannya agar membicarakan dosa yang telah diperbuatnya agar orang lain tahu. Waduh, itu sih sama dengan membuka aib sendiri. Bukannya menyesal dan bertobat malah bangga dengan dosa. Udah gitu, masih jadi pelaku aktif lagi. Ih, naudzubillahi mindzalik.
Oke deh, jangan coba-coba narsis ya. Narsis dalam hal kehidupan secara umum aja nyebelin dan nggak disuka teman, apalagi dalam masalah ibadah (amal shalih), bisa-bisa kamu nggak akan eksis di hadapan Allah karena amalanmu menguap semua nggak berbekas digerogoti riya’ dan sum’ah. Jangan sampe deh. Ayo, benahi ikhlas kita. Mulai sekarang juga. Bismillah.
0 komentar:
Posting Komentar